Daán yahya/Republika

Sejarah Pemberontakan PKI 1948

Banyak ulama dan santri yang gugur dalam peristiwa pemberontakan kaum komunis ini.

Oleh: Hasanul Rizqa

Dalam rentang abad ke-20 M, komunisme menjadi ideologi yang cukup dominan di jagat global. Di berbagai negara, para simpatisannya gencar bergerak dalam ranah politik. Bukan hanya dengan jalan mendirikan partai politik, mereka pun terlibat dalam upaya kudeta.

 

Di Indonesia, orang-orang komunis telah bergerak sejak zaman kolonialisme Belanda. Pada November 1926 dan Januari 1927, beberapa tokoh ideologi ini melancarkan pemberontakan di Jawa dan Sumatra. Pemerintah Hindia Belanda kala itu dengan cepat memadamkan pergolakan di dua pulau tersebut. Imbasnya, lebih dari seribu orang simpatisan dibuang ke Boven-Digul. Namun, sejumlah eksponen komunis berhasil kabur ke luar negeri.

 

Pergerakan komunis kembali muncul pada masa sesudah Republik Indonesia merdeka. Adalah Muso Manowar yang menggerakkannya. Sesudah peristiwa Pemberontakan 1926/1927, tokoh komunis kelahiran Kediri (Jawa Timur) ini termasuk yang lari ke Uni Soviet. Di Moskow, ia mempersiapkan diri agar kelak bisa memulihkan Partai Komunis Indonesia (PKI).

 

Harry A Poeze dalam buku Madiun 1948 PKI Bergerak (2011) menjelaskan, Muso tidak berada di Indonesia ketika pemberontakan PKI terjadi pada 1926/1927. Di Singapura, ia keburu ditangkap polisi Inggris. Begitu dibebaskan, anak pegawai bank itu lantas pergi ke Moskow dan tinggal di ibu kota Uni Soviet (kini Rusia) tersebut selama 22 tahun, sebelum akhirnya kembali ke Tanah Air.

 

Berita tentang kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 diperolehnya melalui siaran radio dan korespondensi. Sejak itu, visinya kian menguat untuk mewujudkan Indonesia sebagai sebuah negara komunis di bawah kendali Uni Soviet.

 

Sebelum memutuskan pulang, Muso menjalin komunikasi dengan Suripno, seorang mahasiswa RI yang berhaluan kiri. Bermula pada pertengahan 1947, Suripno bertolak dari Tanah Air untuk menghadiri kongres pemuda sedunia (International Union of Students) di Praha, Cekoslowakia. Pemuda ini juga membawa mandat dari Bung Karno untuk membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet.

 

Pada tahun yang sama, petualangan kaum kiri di perpolitikan nasional kian terjepit. Amir Sjarifuddin, seorang tokoh Partai Sosialis, sempat dua kali memimpin pemerintahan. Namun, pada akhir periode pemerintahannya, yakni awal tahun 1948, kedudukannya mulai tergoyahkan. Ia diserang lawan-lawan politiknya, terutama Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi, terkait Perundingan Renville.

 

Perjanjian yang dimediasi Amerika Serikat (AS) itu mempertemukan antara pihak RI dan Belanda. Disepakatilah tiga hal penting. Pertama, Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah RI. Kedua, diakuinya garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda. Terakhir, Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di Jawa Barat dan Jawa Timur.

 

Ketiga poin itu menjadi sasaran kritik PNI dan Masyumi. Amir lalu mengembalikan mandat kepada Presiden Sukarno. Tidak hanya kehilangan kursi di eksekutif, dirinya juga pecah kongsi dengan Sutan Sjahrir. Yang belakangan itu bahkan mendirikan partai baru, yakni Partai Sosialis Indonesia (PSI), terpisah dari Partai Sosialis.

dok wikipedia

Kembalinya Muso

 

Sesudah jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin II, Bung Karno memberikan mandat. Kali ini, tugas menyusun kabinet diserahkan kepada tokoh non-partai, yaitu Bung Hatta. Maka terbentuklah Kabinet Hatta I pada Februari 1948.

 

Tidak ada satu pun wakil sayap kiri di dalam jajaran kabinet ini. Amir pun menyatakan diri sebagai oposan. Untuk menandingi Kabinet Hatta, Amir berupaya mengonsolidasi unsur-unsur kiri. Pada 28 Juni 1948, ia pun membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR).

 

Pada saat itulah, kaum komunis di Tanah Air mendapatkan “amunisi” baru: pulangnya Muso. Dedengkot PKI itu kembali ke Tanah Air bersama dengan Suripno. Ceritanya bermula pada 11 Agustus 1948. Awak media telah mengetahui bahwa pemuda itu telah berangkat dari Praha. Tiba di Bukittinggi, Suripno disebut-sebut membawa serta seorang sekretarisnya yang bernama Suparto.

 

Dari Sumbar, keduanya segera ke Yogyakarta, yang saat itu merupakan ibu kota RI. Di istana negara, Suripno menyampaikan kepada Bung Karno tentang sambutan baik duta besar Uni Soviet untuk Ceko. Menurutnya, Moskow siap menjalin hubungan persahabatan dengan RI.

 

Bagi Hatta, Suripno telah bertindak keterlaluan. Sang perdana menteri (PM) menganggap, tindakan pemuda itu tidak tepat karena, berdasarkan Perjanjian Renville, RI dilarang melakukan hubungan luar negerinya sendiri. Katakanlah, Suripno memang telah mendapatkan mandat dari Bung Karno. Namun, hal itu terjadi dahulu ketika Amir masih menjadi PM. Begitu kini PM dijabat Hatta, otomatis mandat tersebut kedaluwarsa.

 

Bagaimanapun, bukan kasus Suripno yang terutama memantik perhatian insan pers. Adalah sosok Suparto yang lebih mengejutkan. Ternyata, “sekretaris” Suripno itu adalah kawan lama Bung Karno. Dialah Muso. Tokoh PKI ini memang pernah tinggal satu indekos dengan sang proklamator di rumah HOS Tjokroaminoto di Surabaya.

 

Menurut Soe Hok Gie dalam buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, seorang wartawan menggambarkan pertemuan antara keduanya. “Bung Karno memeluk Muso dan Muso memeluk Sukarno. Mata berlinang. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata,” tulis jurnalis tersebut.

 

Gie mengomentari adegan ini sebagai sesuatu yang komikal sekaligus ironis. Sebab, beberapa hari kemudian Muso secara terang-terangan mencemooh Dwitunggal Sukarno-Hatta di depan umum. “Sejarah memang lucu. Muso akhirnya melancarkan revolusi di dalam revolusi Indonesia. Sesudah berpeluk-pelukan dengan bercucuran air mata di istana Presiden, 37 hari kemudian,” tulis akademisi Universitas Indonesia ini.

Dalam pidatonya, Muso dengan pongah mencaci maki Presiden Sukarno dan PM Hatta.

Mulai bergerak

 

Usai menemui Bung Karno, Muso menghadiri rapat yang dihelat Badan Kongres Pemuda. Dalam pidatonya, ia memuji-muji kehebatan Uni Soviet. Baginya, Indonesia harus berada di barisan Soviet bila ingin menghalau Belanda dari Tanah Air. Orasinya ternyata tidak disambut antusias para anggota badan tersebut. Mayoritas hadirin meninggalkan tempat sebelum Muso selesai bicara.

 

Muso juga sempat menggelar jumpa pers di Jalan Malioboro. Seorang wartawan bertanya, mengapa ia datang dengan pengawalan laskar satu truk yang bersenjata. Alasannya, ia harus “waspada terhadap agen-agen kaum imperialis.” Salah seorang pengawalnya ialah anak muda yang tampak duduk malu-malu di pinggir. Kelak, publik mengenalnya sebagai pentolan PKI tahun 1965. Dialah Dja’far Nur Aidit alias Dipa Nusantara (DN) Aidit.

 

Dari Yogyakarta, Muso langsung menuju Kediri. Sesudah menjumpai keluarganya, ia mulai bergerak untuk melaksanakan agenda utamanya: menyebarluaskan komunisme. Tidak berhenti pada diseminasi ideologi, tetapi juga menggulingkan pemerintahan yang sah.

 

Untuk itu, Muso melakukan berbagai manuver. Pertama-tama, melalui Amir Sjarifuddin, ia merangkul FDR. Kepada mereka, ia menawarkan konsep yang telah dirangkumnya dalam pamflet “Jalan Baru.” Menurut gagasannya, semua partai yang meyakini marxisme atau perjuangan kelas sosial haruslah melebur menjadi satu. Dan, PKI tampil sebagai ujung tombaknya.

 

Selanjutnya, Muso juga mendekati kalangan tentara. Beberapa elemen memang sudah terpengaruh komunisme. Untuk lebih bisa merangkul mereka, ia memanfaatkan ketidaksukaan sebagian tentara pada kebijakan Kabinet Hatta I, yakni Rekonstruksi dan Rekonsiliasi (ReRa).

 

ReRa sesungguhnya diambil Hatta untuk memulihkan kondisi ekonomi negara selepas jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin. Muso memanas-manasi tentara dengan menyebutkan, RERA hanya merugikan para prajurit. Kebijakan itu disebutnya sangat mengurangi kekuatan militer Indonesia. Tidak sedikit prajurit TNI yang termakan agitasi tokoh komunis itu.

 

Seperti dinukil dari Lubang-lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun (1990), Muso memanfaatkan emosi dan keluguan sebagian masyarakat lokal untuk mendukung aksinya. Pada 15 Agustus 1948, Muso tiba di Madiun, Jawa Timur. Para simpatisan komunis setempat telah menyebarkan propaganda di tengah masyarakat. Kepada penduduk, mereka menyampaikan, “Nabi Musa dari Moskow” akan datang dan berpidato di Alun-alun.

 

Rakyat kebanyakan buta huruf serta tidak memahami bahasa Indonesia. Didorong rasa penasaran, mereka pun berkumpul di Alun-alun Madiun. Dalam pidatonya, Muso dengan pongah mencaci maki Presiden Sukarno dan PM Hatta. Di hadapan puluhan ribu orang, ia menyebut keduanya tidak becus dalam memimpin negara. Karena itu, dirinya berjanji akan memimpin mereka ke arah revolusi Indonesia Merdeka.

 

Atmosfer suasana Alun-alun Madiun menjadi sangat bergelora. Ribuan orang terpukau orasi Muso. Tokoh komunis ini lalu dielu-elukan, layaknya seorang “nabi.”

 

FDR/PKI menggencarkan operasinya di tengah masyarakat. Berbagai fitnah disebarkannya dengan tujuan mengadu domba antara rakyat dan militer. Konflik di internal militer juga dimanfaatkannya, terutama pasca-terbunuhnya komandan Divisi Panembahan Senopati Kolonel Sutarto di Solo pada Juli 1948. Penggantinya ialah Letkol Suadi, yang bersimpati pada FDR/PKI.

 

Hingga awal September 1948, culik-menculik beberapa tokoh militer dan sipil marak terjadi di Surakarta. Mulailah tuduh-menuduh antara Divisi Siliwangi dan pasukan-pasukan Solo “asli.” Akibat Perjanjian Renville, Siliwangi sejak Februari 1948 diharuskan hijrah dari Jawa Barat ke daerah-daerah RI, termasuk Jawa Tengah. Dalam suasana politik yang tegang, pasukan-pasukan menjadi amat mudah terbawa arus politik.

 

Meskipun Panglima Besar Jenderal Sudirman telah turun tangan, situasi di lapangan belum juga mereda. Di Yogyakarta, Pak Dirman bersama dengan Kolonel AH Nasution dan Kolonel Gatot Subroto kemudian melakukan pembicaraan. Sebelum menghadap Presiden, disepakatilah usulan menjadikan Kolonel Gatot sebagai gubernur militer Jawa Tengah dengan kekuasaan penuh untuk menertibkan keadaan. Bung Karno dan Kabinet menyetujui usulan tersebut. Pada 18 September 1948, Gatot tiba di Solo untuk memulai tugasnya. Malam harinya, Madiun diduduki FDR/PKI

MONUMEN KEGANASAN PKI | DOK ANTARA Fikri Yusuf

Jalannya pemberontakan

 

Keheningan Madiun, Jawa Timur, pada Sabtu dini hari pukul 03.00 WIB tanggal 18 September 1948 terkoyak. Tepat ketika itu, terdengar suara tiga kali letusan pistol. Bagi para simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) setempat, itulah isyarat untuk mulai bergerak.

 

Pemimpin mereka, Muso Manowar, memproklamasikan berdirinya “Negara Republik Soviet Indonesia.” Inilah kudeta sekaligus separatisme terang-terangan pertama terhadap RI yang baru tiga tahun merdeka. Padahal, saat itu bangsa Indonesia sedang berjuang menghadapi Belanda yang ingin menjajah kembali Tanah Air.

 

Bagaikan kerumunan laron, ribuan orang pendukung PKI maupun Front Demokrasi Rakyat (FDR) turun ke jalan-jalan. Dari pelbagai arah, mereka datang dengan membawa senapan, kelewang, arit, pentungan, dan berbagai senjata lainnya. Massa ini menyerbut berbagai tempat strategis, seperti kantor pemerintah kabupaten/kecamatan/kelurahan, kantor kejaksaan, dan bahkan markas polisi, markas distrik militer, serta depo militer. Tidak hanya di Madiun, pergerakan mereka meliputi daerah-daerah lain. Di antaranya adalah, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Purwantoro, Sukoharjo, Wonogiri, Blora, Pati, Cepu, dan Kudus.

 

Dalam waktu relatif singkat, laskar merah berhasil menduduki semua kabupaten/kota tersebut. Mereka lantas melakukan aksi berikutnya, yakni pembunuhan massal. Semua tokoh masyarakat yang dicap anti-komunis ditangkapinya. Sasarannya adalah para bupati, patih, wedana, kepala kepolisian, jaksa, guru, dan pemuka organisasi masyarakat beserta bawahannya. Mereka juga menyasar kalangan kiai, ustaz, dan santri.

 

Lubang-lubang eksekusi disiapkan. Semua tersebar pada banyak titik, khususnya di area Madiun, Magetan, dan sekitarnya. Para korban yang telah disekap lalu digiring. Satu per satu mereka dijagal oleh anggota FDR/PKI.

 

Sebagian rakyat Jawa Tengah sempat melawan meskipun kekuatan FDR/PKI lebih terorganisasi. Perjuangan dilakukan pula oleh elemen umat Islam hingga titik darah penghabisan. Organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), misalnya, membentuk Brigade PII untuk membendung kaum komunis. Pemimpin brigade ini, seorang siswa madrasah aliyah, gugur bersama dengan delapan orang rekannya.

 

Maksum, Agus Sunyoto, dan A Zainuddin dalam Lubang-lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun (1990) menuturkan, dalam tempo beberapa hari sejak 18 September 1948 Magetan jatuh seluruhnya ke tangan FDR/PKI. Menurut mereka, peristiwa ini memang dikenal sebagai Pemberontakan Madiun (Madiun Affair) di kemudian hari. Namun, sebenarnya masyarakat di Kabupaten Magetan-lah yang menerima dampak paling besar dari ulah kaum komunis ini.

dok wikipedia

Kengerian di Takeran

 

Gerak cepat para pendukung PKI/FDR melumpuhkan sistem administrasi di wilayah Takeran, Magetan, Jawa Timur. Kaum komunis tidak hanya menarget tokoh-tokoh pemerintahan setempat, tetapi juga pesantren. Salah satu lembaga yang diincarnya ialah Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) yang dipimpin seorang ulama muda, Kiai Imam Mursyid Muttaqien—usianya kala itu 28 tahun.

 

Seperti dinukil dari Lubang-lubang Pembantaian, kekejian PKI/FDR terhadap kiai dan santri PSM dimulai satu hari usai proklamasi “Republik Soviet Indonesia.” Menurut kesaksian Muhammad Kamil (62 tahun—saat buku itu disusun), Kiai Hamzah dan Kiai Nurun meminta izin kepada Kiai Mursyid Muttaqien untuk mengajar di Pesantren Burikan, salah satu cabang PSM di Desa Banjarejo, pada Jumat, 17 September 1948. Walaupun mengizinkan, keduanya diminta berhati-hati karena pengasuh PSM itu memiliki firasat buruk tentang apa yang akan menimpa mereka.

 

Benar saja, pada Sabtu, 18 September, Pesantren Burikan diserbu FDR/PKI. Para santri dan ulama di sana, termasuk Kiai Hamzah dan Kiai Nurun, digiring laskar merah ke Desa Batokan, sekira 500 meter dari pondok tersebut. Di sanalah, mereka dibantai. Jasad-jasadnya dimasukkan ke dalam lubang galian.

 

Kiai Mursyid Muttaqien pun termasuk dalam daftar incaran FDR/PKI. Sesudah shalat Jumat, kompleks PSM dikepung segerombolan orang berpakaian serba hitam dan berikat kepala merah. Semuanya menenteng senjata. Seorang perwakilan komunis meminta kiai muda itu untuk ikut dengannya. “Jika Kiai Imam Mursyid Muttaqien tidak mau menyerah … maka pesantren akan dibumihanguskan,” kenang Iskan, seorang saksi mata.

 

Sesudah Kiai M Muttaqien dibawa dengan mobil, orang-orang FDR/PKI masih saja bertahan. Mereka lalu meminta sejumlah tokoh PSM lainnya untuk ikut. Tercatat, sejumlah guru agama ditawan kaum komunis. Di antaranya adalah Ustaz Ahmad Baidawi, Muhammad Maijo, Rofii Ciptomartono, Kadimin, Reksosiswoyo, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba’. Yang terakhir itu adalah seorang ustaz yang didatangkan PSM dari al-Azhar, Kairo, Mesir. Tidak ada satu pun dari mereka yang kembali dengan selamat. Sebagian besar ditemukan dalam keadaan mengenaskan dan tak bernyawa di sumur-sumur pembantaian FDR/PKI. Namun, jenazah Kiai M Muttaqien tak kunjung ditemukan.

 

PSM adalah satu dari sekian banyak target laskar-laskar merah dalam Pemberontakan PKI 1948. Korban kekejaman komunis juga terdapat di beberapa daerah, seperti Desa Soco, Cigrok, dan Gorang Gareng. Mayoritasnya adalah umat Islam.

 

Di Soco, Kecamatan Bendo, Magetan, sedikitnya 108 jenazah ditemukan di sumur pembantaian FDR/PKI. Sebanyak 78 orang diantaranya dapat dikenali, sedangkan sisanya tidak dikenal. Bertahun-tahun kemudian, dibangunlah monumen di atas sumur tersebut untuk mengenang para korban. Di antara nama-nama yang terpacak pada tugu itu, ialah pimpinan Pondok Pesantren ath-Thohirin Mojopurno Magetan, KH Sulaiman Zuhdi. Ada pula jaksa R Moerti, Kiai Muhammad Suhud, Kapten Sumarno dan beberapa pejabat pemerintah lainnya.

 

Selain Monumen Soca, terdapat tugu serupa di Rejosari, Kawedanan, Magetan. Terpatri di sana, sebanyak 26 nama korban keganasan FDR/PKI. Satu nama ulama yang ada pada monumen itu ialah KH Imam Shofwan, pengasuh Pesantren Thoriqussu'ada Rejosari, Madiun.

 

Kiai Shofwan dikubur hidup-hidup di dalam sumur tersebut setelah disiksa berkali-kali. Ketika dimasukkan ke dalam sumur, Kiai Shofwan masih sempat mengumandangkan azan. Dua putranya, yakni Kiai Zubeir dan Kiai Bawani, juga menjadi korban. Keduanya dikubur hidup-hidup secara bersama-sama.

 

Desa Kresek, Wungu, Madiun, juga menjadi saksi kebengisan para pemberontak. Berdasarkan data yang didapat, ada 17 orang yang jasadnya ditemukan dalam sumur desa tersebut. Sumur inilah yang menjadi lokasi bagi para simpatisan FDR/PKI untuk membantai korban-korbannya.

 

Buku Lubang-lubang Pembantaian mengutip kesaksian seorang korban yang selamat dari pembantaian, Rono Kromo (89 tahun, saat buku itu disusun). Rono ikut membantu mengangkat jenazah para korban di loji pabrik gula, Rejosari, Gorang Gareng—10 km arah timur Magetan. “Waktu saya masuk ruangan (loji), kaki saya terasa …nyess… ketika menginjak darah di lantai,” katanya. Menurutnya, cairan darah di sana mencapai setinggi mata kaki.

 

Buku yang sama juga merangkum kesaksian dari KH Sulaiman Zuhdi, ulama Pesantren Mojopurno, Magetan. Ia mengaku sempat menyusupkan seorang koleganya untuk mengikuti rapat FDR/PKI di Madiun sepekan sebelum pecah Pemberontakan 1948. Dari mata-matanya itu, diketahui bahwa orang-orang komunis memang merencanakan penyerbuan besar-besaran di Madiun dan sekitarnya. Seorang simpatisan FDR/PKI akan diganjar hadiah Rp 1.000 tiap berhasil membunuh seorang anggota Masyumi. “Kalau yang dibunuhnya seorang kiai, maka bayarannya Rp 20 ribu,” katanya menirukan keterangan kawannya itu. Tentu saja, nilai rupiah dahulu dan kini—tahun 2021—tidak bisa disamakan.

 

Penulis tidak menemukan data pasti tentang jumlah korban jiwa maupun luka-luka dalam peristiwa Pemberontakan PKI 1948. Barangkali, totalnya mencapai seratusan atau ratusan orang. Yang jelas, masyarakat Madiun dan sekitarnya saat itu sangat menderita. Tidak sekadar menyiksa dan membunuh, FDR/PKI pun menyebarkan ketakutan. Di kawasan Pati saat itu, misalnya, para simpatisan komunis ini menancapkan tiga mayat warga desa setempat di tengah sawah. Pasak bambu tembus dari (maaf) lubang dubur, perut, hingga mulut mereka. Di desa dekat Wirosari, puluhan mayat diperlakukan demikian.

 

Taktik bumi-hangus juga dilancarkan para pemberontak. Sebagai contoh, kejadian yang menimpa masyarakat Kampung Kauman, Madiun. Pada 20 September 1948, segerombolan PKI/FDR dengan menggunakan truk mendatangi permukiman itu. Mereka menuduh salah seorang penduduk setempat telah membunuh satu anggota PKI.

 

Merasa tak pernah membunuh seorang pun, warga Kauman tetap bergeming. Tidak ada yang mengakui atau membenarkan tuduhan kaum komunis itu. Orang-orang FDR/PKI ini lantas mengancam akan membumihanguskan desa tersebut. Kira-kira tiga hari kemudian, para perusuh ini datang lagi dengan jumlah yang lebih banyak. Seperti kerumunan laron, mereka menyerbut Kauman. Rumah-rumah dibakar sehingga seluruh penghuni keluar. Sebanyak 149 orang laki-laki warga setempat ditangkap, lalu digiring ke Maospati. Para tawanan ini hendak dibawa ke loji pabrik gula, kawasan Glodok. Beruntung, sebelum sempat dibantai, rombongan FDR/PKI yang menawan mereka diadang TNI Divisi Siliwangi.

Pengunjung mengamati patung | DOK ANTARA Siswowidodo

Kegagalan dan penumpasan

 

Dalam tempo kurang dari tiga bulan, Pemberontakan PKI 1948 di Madiun dan sekitarnya dapat dipadamkan sama sekali. TNI mengerahkan pasukan dengan efektif sehingga dapat menguasai keadaan. Bahkan, pengaruh PKI maupun Front Demokrasi Rakyat (FDR) di daerah-daerah itu bisa dikatakan sudah melemah sejak hari kedua kudeta.

 

Pada 19 September 1948, Presiden Sukarno berpidato dan disiarkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta. Rakyat yang mendengarnya sangat terkejut. Sebab, PKI nyata-nyata telah menusuk RI dari belakang. Ketika seluruh bangsa Indonesia sedang berjuang melawan Belanda, kaum komunis justru membuat kekacauan. Muso dan kawan-kawan berupaya merebut kekuasaan dari pemerintah yang sah.

 

“Saudara-saudara,” seru Bung Karno dalam pidatonya, “camkan benar-benar apa artinya itu: Negara Republik Indonesia yang kita cintai hendak direbut oleh PKI Muso. Rakyatku yang tercinta, atas nama perjuangan untuk Indonesia Merdeka, aku berseru padamu pada saat yang begini genting … ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, (atau) ikut Sukarno-Hatta yang, insya Allah dengan bantuan Tuhan, akan memimpin Negara Republik Indonesia kita ke Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negeri apa pun juga!”

 

Beberapa hari kemudian, batalion Divisi Siliwangi bergerak dari Yogyakarta ke Madiun untuk memulihkan keamanan. Selain itu, Panglima Besar Jenderal Sudirman juga memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan PKI. Dalam hal ini, tentara dibantu para santri.

 

Dalam hitungan pekan, kekuatan PKI berhasil dilumpuhkan. Bahkan, persembunyian Muso bisa terdeteksi. Gembong komunis yang menghendaki Indonesia tunduk di bawah Uni Soviet ini tewas tertembak di dekat sebuah toilet umum, kawasan Madiun. Nasib serupa dialami Amir Sjarifuddin. Adapun beberapa tokoh PKI, termasuk DN Aidit dan Lukman, dapat kabur ke Cina dan Vietnam.

 

Pemerintah, militer, dan rakyat mesti berjuang selama masa revolusi. Hingga pada Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI. Uniknya, PKI kemudian kembali lagi ke blantika perpolitikan nasional. Pada 1955, Indonesia mengadakan pemilihan umum (pemilu) pertamanya. Dan, PKI menjadi salah satu peserta pesta demokrasi ini. Bahkan, partai komunis ini termasuk jajaran empat besar pemenang pemilu sehingga berhak atas kursi di parlemen.

top